Renungan Minggu 29 September 2024
Saya memfokuskan renungan saya berdasarkan inspirasi bacaan injil yang akan kita dengarkan besok. Secara singkat bacaan injil besok berbicara tentang para murid yang melarang orang lain melakukan pengusiran setan dalam nama Yesus karena mereka bukan pengikut Kristus. Yesus menegaskan kepada mereka bahwa hal itu bukan menjadi persoalan karena yang terpenting bagi mereka adalah menghargai orang lain, melakukan apa saja yang baik walaupun kecil, tidak menjadi batu sandungan bagi orang lain dan mengutamakan nilai pengorbanan daripada kesenangan demi kehidupan kekal. Ini adalah beberapa poin inspirasi tetapi saya ingin fokus pada sikap para rasul.
Pertama, sikap eksklusif para rasul ketika berhadapan dengan orang yang bukan dari persekutuan nyata dengan Yesus melakukan pengusiran setan dalam nama Yesus. Mereka menolak dan bahkan mencegah hal itu terjadi karena menurut mereka yang layak dan pantas melakukan hal itu hanya mereka yang selalu bersama dengan Yesus sedangkan jika dilakukan orang lain berarti orang itu merampas hak dan kuasa rasul sebagai ORDAL dalam lingkaran Yesus. Dengan bersikap demikian mereka seolah-olah mengatakan dengan tegas: “Yesus itu guru kami, Tuhan kami, milik kami bukan milik semua orang maupun milik kalian”. Sikap mereka ini langsung ditegur oleh Yesus. Bahwa pada dasarnya orang yang melakukan pengusiran setan itu bukan merupakan lawan atau musuh. Justru sebaliknya dengan tindakan mereka itu, kuasa Yesus semakin diafirmasi oleh publik sebagai kuasa yang melampaui batas persekutuan manusiawi, melampaui batas keterikatan fisik. Kuasa Yesus tidak hanya bekerja melalui para rasul atau muridNya melainkan melalui siapa saja yang percaya pada-Nya dan yang bahkan belum pernah melihat-Nya.
Saya cukup tertarik untuk mendalami sikap para rasul ini. Dalam kenyataan hidup sehari-hari hidup kita, sikap ini selalu disajikan di atas pentas relasi kita dengan orang lain. Di mana pun kita berada selalu muncul, entah dalam diri kita maupun orang-orang di sekitar kita, suatu kecenderungan untuk menciptakan garis demarkasi sosial antara saya dan engkau atau antara kami dan mereka. Kami di sini dan kalian di sana. Sehingga pada akhirnya hidup menjadi seperti pertandingan sepak bola yang selalu mau mempertahankan wilayahnya masing-masing. Seperti dalam pertandingan Indonesia vs Australia beberapa hari lalu. Indonesia terus mempertahankan wilayahnya agar tidak dikuasai Australia dan gawang Martin Paes tidak dibobol dan sebaliknya. Fenomena demarkasi ini dalam hidup masyarakat sering terjadi dan kerap menciptakan sekat-sekat eksklusivisme bahkan radikalisme dalam agama ataupun suku.
Memang di satu sisi atau ekstrim kiri, menggunakan kekuasaan orang lain untuk melakukan sesuatu walaupun untuk tujuan baik tetapi tetap saja menimbulkan polemik sosial. Mungkin contoh yang ekstrim, misalnya karena tidak ada romo provinsial di rumah, seorang pastor memberikan izin untuk mendirikan SBPU di lapangan basket tanpa diberikan mandat dari provinsial. Atau seorang frater, karena tidak ada romo rektor di rumah mengizinkan sebuah kelompok berpesta atau menginap di komunitas tanpa sepengetahuan rektor atau masih banyak contoh lainnya. Inilah contoh kalau kita melihat dari titik ekstrimnya.
Di sisi lain, saya merenungkan ada sesuatu yang lain dari sikap itu. Para rasul mencegah orang itu karena timbul rasa iri dalam diri mereka akan keberanian dan iman yang dimiliki orang yang mengusir setan itu. Mungkin muncul tanya dalam benak mereka: ”mengapa orang ini mampu melakukannya dalam nama Yesus sedangkan belum tentu dengan kami yang ada di sekitar Yesus?” Secara fisik mereka tentu selalu bersama-sama dengan Yesus dan mungkin secara rohani juga selalu bersatu dengan Yesus. Keistimewaan ini membuat mereka merasa memiliki kualitas rohani yang lebih unggul: yakni untuk berbuat baik, melawan yang jahat, mengusir setan, berbakti kepada Allah dan memiliki iman yang kuat akan Yesus, dan hanya mereka yang memiliki itu dengan lengkap karena Yesus memilih mereka secara istimewa. Perasaan yakin itu runtuh ketika melihat ada orang yang tidak bersama dengan Yesus bahkan tidak dipilih oleh Yesus tetapi dengan penuh iman mengusir setan dalam nama Yesus. Mereka mungkin jatuh ke dalam kegalauan eksistensial: “bagaimana mungkin ada orang lain yang merampas kualitas istimewa itu dari mereka? Itu milik kami bukan milik kalian!” Sehingga dalam kegabahan, mereka serentak menjegal atau mencegah orang itu melakukan pengusiran setan.
Situasi yang dialami para rasul ini, juga secara personal saya dan mungkin sama saudara semuanya mengalaminya. Ketika apa yang seharusnya menjadi kompetensi kita justru malah dimiliki dengan jauh lebih profesional oleh orang lain yang tidak berada dalam jalur kompetensi seperti kita. Kadang-kadang muncul rasa iri sekaligus malu dalam diri saya ketika menyadari akan hal itu dan itu terjadi di hadapan saya. Contoh sederhana yang selalu saya alami adalah persoalan doa yang dihidupi oleh para bapak ibu yang sering misa pagi di kapel kita. Dalam observasi saya, mereka tidak melakukannya karena interest atau karena intensi dangkal tertentu sebab tampak adanya konsistensi dalam praktek doa mereka. Mereka melakukannya dengan sungguh-sungguh dan kontinyu. Bagi saya ini menjadi indikator dari kerinduan mereka sendiri untuk dekat kepada Yesus. Pagi-pagi ketika kita masih sibuk mandi, mereka sudah berdoa di depan gua Maria atau di depan patung hati Yesus mahakudus dan sudah dalam kekhusyukan berlutut di hadapan sakramen mahakudus. Laku rohani mereka tersebut di satu sisi membuat saya iri dan merenung mengapa mereka sampai pada titik seperti itu sedangkan saya biasa-biasa saja atau bahkan jatuh dalam rutinitas. Padahal, saya justru seharusnya memiliki kualitas rohani yang lebih baik dari mereka karena kehidupan rohani adalah titik pusat seorang religius. Akan tetapi di sisi lain, rasa iri itu justru menstimulasi semangat saya untuk meningkatkan kualitas hidup saya sebagai seorang religius terutama dalam hal berdoa.
Maka, belajar dari kisah para rasul, kita pada akhirnya harusnya beranjak ke dalam refleksi hidup kita masing-masing sebagai salesian. Apakah kita sungguh-sungguh memiliki kualitas-kualitas yang sepadan dengan panggilan kita? Semoga kita tetap bertumbuh dalam membangun kualitas salesian kita.
Saya ingin menutup renungan saya dengan sebuah puisi pendek; Aku Ingin oleh Sapardi Djoko Damono
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
Semoga ini juga menjadi cinta kita kepada Tuhan, cinta yang sederhana.
Sunter, 28 September 2024
Fr. Fabianus Karo, SDB